Wednesday, April 18, 2007

PAKAR TECHNO INDONESIA



Onno W. Purbo

Nama Onno W. Purbo sudah lama berkibar di percaturan teknologi informasi. Ibarat pencarian di search engine, tokoh satu ini identik dengan lima kata kunci: penulis, pendidik, pembicara seminar, mantan dosen ITB, dan pakar Internet. Di sela-sela kesibukannya berseminar dari kota ke kota, ia menyempatkan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Rini Nurul Badariah, koresponden mwmag.

Catatan pewawancara: setelah bergabung dengan milis onnopurbo@yahoogroups.com yang membagikan pengetahuan Pak Onno melalui upload koleksi artikel dan tulisannya, saya bermaksud mewawancarainya seputar visi dan idealisme pendidikan. Namun mengingat tenggat waktu yang tidak memungkinkan, rencana semula berubah. Toh sisi-sisi karir beliau pun tak kalah menarik untuk diungkapkan.

Lulusan Teknik Elektro ITB ini mengaku mempelajari teknologi informasi secara otodidak dengan banyak bertanya. Kiat sukses belajarnya pun sederhana. “Saya mengerjakan apa yang saya suka,” kata pria yang ketika menjadi dosen di almamaternya bercita-cita membangun jaringan di Indonesia ini.

Mantan Dosen

Dari sekian banyak sebutan yang diberikan orang, Onno lebih suka dikenal sebagai penulis TI. Ketika diundang menjadi narasumber Acer Onklik TV di ANteve, embel-embelnya adalah freelance IT Writer. “Juga bekas PNS dan bekas dosen ITB,” tambahnya. Sehubungan dengan predikat dosen tersebut, Februaris Purnomo Dipodiwirjo yang akrab dipanggil Febi, mantan anak buah Onno di CNRG (Computer Network Research Group) berpendapat bahwa atasannya ini cocok sebagai dosen karena bisa menghidupkan semangat para mahasiswa untuk menggali ilmu pengetahuan. Pendapat senada dilontarkan oleh Basuki Suhardiman. Di matanya, Onno adalah pendidik yang baik dan berdedikasi. Bahkan iklim ITB sebenarnya adalah yang paling cocok untuknya. Sedangkan Adnan B. selaku mantan mahasiswa beliau mengatakan Onno adalah dosen yang menyenangkan, baik metode mengajar maupun kriteria penilaian yang diberikannya. Hal ini dibenarkan oleh Ismail Fahmi yang menilai Onno ringan tangan membantu mahasiswa sampai membetulkan hard disk sekalipun. “Tapi kadang-kadang cuek juga ke mahasiswa yang melempem,” ujarnya. Menurut Ismail, Onno menuntut mahasiswa aktif, kreatif, dan mandiri sehingga tidak semua orang cocok dengan dirinya sebagai dosen.

Saat dikonfirmasi perihal berita yang simpang-siur seputar pengunduran dirinya dari jajaran dosen tersebut, Onno menjawab bahwa ia berhenti atas kemauannya sendiri dan didukung oleh pimpinan ITB. “Maklum, saya biang kerok di ITB,” ia berseloroh. Febi pun menilai Onno kurang cocok menjadi pegawai negeri. Alasannya? “Kultur kerja pegawai negeri memang jauh dari imej beliau. Selain itu, dia ini mungkin memang kurang ‘lincah’ dalam hal birokrasi, sehingga terkesan kurang disukai oleh rekan-rekan dosen yang ada di jajaran birokrasi kampus ITB. Beliau juga tidak berorientasi ‘ingin cepat kaya’, dan isu yang saya dengar, ada konflik dengan dosen lain yang merasa ‘direbut’ lahannya.” Basuki juga beranggapan bahwa karakter pegawai negeri yang cenderung birokratis kurang cocok untuk seorang Onno W. Purbo. Sebaliknya, menurut Adnan, status pegawai negeri bukan alasan Onno mengundurkan diri. “Setahu saya, beliau memiliki pandangan bahwa orang sah saja berperan sebagai apapun sepanjang ia berguna bagi masyarakat. Terbukti saat menjadi pegawai negeri pun, peran Pak Onno tak kalah hebatnya dibanding sekarang.”

Penulis

Kesempatan untuk menulis sebanyak-banyaknya terbuka luas setelah ia tidak lagi berstatus pegawai negeri, tepatnya bulan Februari 2002. Menulis adalah jalan alternatif yang ditempuh Onno guna memintarkan anak bangsa, atau paling tidak mengakrabkan mereka dengan Internet. Dengan kata lain, satu buku yang ia tulis mencerdaskan lebih banyak orang dibandingkan memberikan kuliah. Padahal, peraih Kadin Telematika Award for Indonesian Internet Figure tahun 2000 ini menulis artikel pertamanya di majalah pramuka mengenai cara membuat pesawat terbang model semasa SMA. Bidang yang nyaris tak ada kaitannya dengan yang ia tekuni sekarang. Mungkin karena saat itu ia masih bercita-cita menjadi penerbang.

Bagi mantan kepala perpustakaan pusat ITB yang mengaku terjerembab menjadi penulis ini, setiap buku dan artikel yang ia tulis mempunyai kesan masing-masing. Onno mengaku tidak terlalu peduli pada honor atau royalti. Tanpa mempertimbangkan materi, diizinkannya pihak-pihak lain memajang tulisannya antara lain di situs Bharata-net, sebuah jasa desain web. Sejumlah makalahnya, yang rata-rata membahas e-commerce, dapat dikopi dari situs Dikti (www.dikti.org) agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas sejauh memperhatikan hak cipta sang penulis. Keterbukaan Onno yang bebas birokrasi ini juga tercermin dari pencantuman alamat email Indonetnya dan nomor ponselnya di milis onnopurbo.

Buah pena Onno bertaburan di banyak media dan mengukuhkan namanya di belantara TI Indonesia. Mengenai statusnya di detikcom, Onno mengatakan, “Becanda doang.” Sebagai redaktur ahli majalah Neotek [majalah komputer yang usianya masih relatif muda—Red.], ia diminta memasukkan naskah secara periodik. “Yang lain sih kalau lagi ngiseng saya masukin.” Kendati sudah cukup punya nama, tidak berarti ia kebal seleksi redaksi media cetak. “Bahkan saya sering ditolak Kompas karena tulisan saya terlalu teknis,” katanya.

Pembicara Seminar

Sebagaimana umumnya penulis di Indonesia, Onno kerap dimintai memberikan ceramah. Saat tulisan ini diolah, beliau akan menjadi pembicara dalam seminar Kiat Menjadi Penulis Yang Sukses yang diselenggarakan Perpustakaan Pusat ITB bekerjasama dengan Penerbit Andi Yogyakarta di kampus ITB tanggal 16 Juli. Ketika pertama kali menjadi pembicara seminar dan dimintai kartu nama, anggota Board of Profession and Association Mastel periode 2000–2003 ini bingung karena tidak memilikinya. “Selain itu saya bersyukur dapat honor Rp 150.000,00. Lumayan,” kenangnya. Kini rata-rata ia mendapat panggilan berbicara di seminar seminggu dua kali. Peran sang istri, Nita Trejuningdyah, sangat besar dalam perjalanan karir Onno. Sebagai manajer, ialah yang menangani jadwal kegiatan dan urusan-urusan yang berkaitan dengan itu, misalnya menerima telepon dari pihak yang mengundang seminar. Kerja sama ini membuat Onno lebih santai. Ia tidak tahu-menahu mengenai prosedur yang diberlakukan untuk para pengundang itu, termasuk tarif yang ditetapkan. Katanya, “Pusing kalau saya harus mikir gituan.” Meskipun sangat sibuk, ia tidak dibantu editor pribadi untuk keperluan tulis-menulis. Malah, seringkali ia menjadi editor untuk orang lain.

Penghasilan dan Royalti

Onno menuturkan bahwa banyak membaca, banyak mendengar, kemampuan menganalisis dan sering melakukan sintesa adalah bekal menulisnya (ia mengaku tidak memiliki pengetahuan bahasa yang baik, bahkan nilai bahasa Indonesianya di SMP dan SMU hanya 6). Tentu saja hidupnya tidak semata-mata digantungkan pada hasil menulis. Diakuinya, pemasukan yang paling besar datang dari workshop. “Sesudah itu baru ceramah dan menulis.” Mengenai prospek profesi penulis, Onno mengatakan tergantung pada visi. Komentarnya, “Pada akhirnya kita cuma bisa makan tiga kali sehari.” Walaupun demikian, tidak berarti ia mengecilkan seorang penulis. Dalam artikelnya, Penulis Sebagai Alternatif Karir (posting tanggal 7 Juli 2002 ke sejumlah milis), ia meyakinkan banyak orang bahwa menjadi penulis cukup menjanjikan sebagai jalan hidup. Lebih lanjut ia membandingkan, “Seorang sarjana baru lulus, biasanya memperoleh penghasilan antara Rp. 750.000 s/d satu juta / bulan. Penulis biasanya akan memperoleh sekitar Rp. 80.000 s/d 250.000 / artikel yang diselesaikan dalam waktu dua (2) jam. Untuk sebuah buku, bisa memperoleh antara Rp. 2-4 juta / 10.000 eksemplar. Biasanya dibutuhkan waktu satu (1) bulan untuk menyelesaikan sebuah buku. Terus terang, penghasilan Rp. 3-4 juta / bulan adalah minimal untuk seorang penulis yang serius.”

Onno mulai menulis buku atas tawaran penerbit. Beberapa buku ia tulis bersama penulis lain, di antaranya Aang Arif Wahyudi, alumni Teknik Elektro ITB angkatan 1996 (Mengenal E-commerce dan Membuat Homepage Gaul, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo). Pembagian tugas dan royalti ia serahkan sepenuhnya pada penulis-penulis yang bekerja sama dengannya itu. Bagaimana caranya mengajak pakar TI yang telah menghasilkan sekitar 30 judul buku ini menulis bersama? Ternyata mudah saja. “Niat yang baik, serius, mau belajar banyak dan mau berkomunikasi melalui e-mail,” ia menjelaskan. Pengasuh milis penulis-TI ini tidak segan menjawab setiap pertanyaan mengenai tulis-menulis dan bahkan memberikan kontak email para redaktur TI serta penerbit yang dikenalnya. Ia berpesan, “Satu hal yang perlu di ingat bagi penulis pemula, sangat sukar untuk membuat buku yang ideal yang mencakup banyak hal. Sebaiknya di fokuskan pada hal tertentu yang terbatas, sehingga dapat di jangkau dalam 100–200 halaman saja. Pengakuan keberhasilan seorang penulis biasanya akan datang langsung dari masyarakat. Nikmatnya, semua itu dapat dilakukan di rumah saja, tanpa perlu ke kantor, tanpa perlu pergi ke tempat kerja.”

Penutup

Kini impian Onno—yang baru berusia 40 tahun 17 Agustus 2002 lalu—sebatas agar bangsa Indonesia bisa hidup dari otaknya, bukan ototnya. Menjadi penulis dan pembicara saat ini sudah cukup memuaskan baginya. Ia tidak berpikiran merintis bisnis, dengan alasan tidak punya bakat.

Pak Onno, maju terus dan semoga lahir Onno-Onno muda yang mengikuti jejak Anda dalam berkarya. (rnb)


No comments: